Blogger Template by Blogcrowds

Jakarta - Selama ini Noordin M Top disebut-sebut sebagai gembong teroris di Indonesia. Namun ada fakta yang memberi bukti, Noordin dan Dr Azahari hanyalah pelaku lapangan yang dibayar. Siapa bos di belakang mereka?

Pengamat intelijen Wawan Purwanto membuat kesaksian yang mengejutkan dalam bukunya yang berjudul "Terorisme Undercover". Dalam buku setebal 404 halaman yang dilaunching 8 Agustus 2009 itu, Wawan membeberkan Noordin dan Dr Azahari hanya orang suruhan.

"Seminggu setelah peristiwa bom di Kedubes Australia, 9 September 2004, Noordin M Top dan Dr Azahari terlihat memasuki sebuah Kedubes di Jakarta. Keduanya lantas diberi uang ribuan dollar AS dari pihak Kedubes tersebut," tulis Wawan dalam bukunya.

Informasi tersebut didapatkan Wawan dari salah satu pendamping Noordin dan Azahari yang saat itu ikut ke Kedubes tersebut. Namun, saat dikonfirmasi kedubes mana yang dimasuki Noordin dan Azahari, Wawan tidak mau membocorkannya.

Hanya Wawan menegaskan, hal tersebut membuktikan adanya keterlibatan asing dalam terorisme di Indonesia. Menurut Wawan, kelompok teroris di Indonesia telah berafiliasi dengan beberapa kelompok teroris yang ada di sejumlah negara, terutama di wilayah Timur Tengah.

"Teror yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari teror global. Mereka bisa terus beraksi karena ada pasokan teknologi maupun dana dari luar negeri," tegas pendiri Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LKPN) tersebut.

Tindakan Azahari dan Noordin memperoleh uang juga membuktikan aksi yang dilakukan kedua gembong teroris sebenarnya ada pemesannya alias ada usernya. Siapa dia? Sampai saat ini hal itu masih menjadi misteri.

Dr Azahari telah tewas saat disergap petugas di Batu Malang, Jawa Timur, 9 November 2005. Sementara Noordin yang sempat diduga tewas di Temanggung, Jawa Tengah, masih buron.

Wawan mengingatkan meskipun polisi berhasil menggulung kelompok teroris yang membom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, teror bom belum akan berakhir. Teror itu tidak akan pernah berakhir jika pemerintah tidak berhasil mengungkap siapa user para teroris ini dan tidak membabat akar terorisme.

Wawan mengurai, jejak terorisme sulit dilepaskan dari keberadaan kelompok ideologis di Indonesia. Kelompok ideologis seperti Darul Islam (DI) telah ada sejak kemerdekaan RI diproklamirkan. "Saat itu mereka berulang kali merongrong keamanan negara dengan tujuan supaya negara Islam terbentuk dan syariat Islam dijalankan di NKRI," jelas Wawan.

Gerakan idelologis ini dapat dipatahkan saat pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Semasa Soeharto, organisasi DI maupun pecahannya terus dipantau ketat gerakannya. Sejumlah tokoh yang terlibat terus diawasi. Pembatasan ruang gerak ini membuat anggota-anggota DI dan jaringannya tidak berdaya. Mereka kemudian memilih hijrah ke negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Afganistan, serta Pakistan.

Kelompok Islam radikal asal Indonesia itu kemudian mendapat pelatihan-pelatihan militer di Filipina, Afganistan maupun Pakistan. Selain berlatih ala militer mereka juga banyak yang terlibat peperangan di Afganistan maupun di Mindanao.

Nah, ketika reformasi terjadi di Indonesia, banyak dari kelompok radikal asal Indonesia yang pulang ke tanah air. Para mantan pejuang Mujahidin ini kemudian berkumpul kembali dan membentuk sebuah organisasi yang mereka beri nama Jamaah Islamiah (JI).

Tokoh-tokoh penting organisasi tersebut antara lain, Hambali, Umar Al Faruq, Azahari, Noordin M Top, Encep Nurjaman, Ali Imron, Imam Samudra, dan Muchlas.

Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapat di Afganistan dan Minadanao, mereka kemudian berusaha memaksakan ideologi mereka di Indonesia. Masing-masing anggota yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia maupun Malaysia, kemudian membentuk jaringan dengan merekrut anggota-anggota baru.

Pola-pola gerakan mereka pasca pulang dari Afganistan dan Mindanao sudah berubah dibanding gerakan DI/TII. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, misalnya dengan melakukan pertempuran secara terbuka dengan aparat.

"Gerakan mereka sejak tahun 2000 beralih ke aksi bawah tanah dan teror bom. Pola seperti ini mereka dapat saat mereka berada di Timur Tengah," ujar wawan.

Ditambahkan Wawan, aksi-aksi teror itu selain untuk menunjukan eksistensi mereka, juga untuk menggalang para pengikut dari kalangan umat Islam yang berpikiran radikal dan kalangan awam. Itu sebabnya mereka menjadikan orang di luar Islam maupun kepentingan-kepentingan barat sebagai sasaran.

Namun, menurut pengamatan Wawan, aksi yang dilakukan para teroris saat ini sudah bergeser sasarannya. Mereka tidak hanya membidik orang asing atau kepentingan negara barat di Indonesia. Sekarang mereka sudah mengincar properti milik pemerintah, termasuk presiden RI.

"Informasi itu saya dapat sejak 3 tahun lalu. Jadi pernyataan Polri yang menyebutkan rumah SBY akan jadi sasaran itu bisa jadi benar. Karena para teroris menganggap pemerintah sudah menjadi antek AS,"pungkas Wawan. (ddg/iy)

Nama pria asal Malaysia, Noordin M Top tenar di Indonesia sebagai teroris. Noordin diduga ada di balik sejumlah kasus bom bunuh diri di Indonesia. Salah satu keahlian Noordin yang paling menonjol adalah kemampuannya merekrut calon bomber bunuh diri atau 'calon pengantin'.

Mengapa bomber dijuluki sebagai calon pengantin? Teman dekat Noordin M Top, Abu Wildan mengatakan istilah tersebut sesuai dengan keyakinan si bomber. "Karena dia akan meninggal dunia, kalau merasakan akan syahid, mungkin diterima disisi Allah, otomatis masuk ke surga firdaus," kata Abu Wildan seperti yang ditayangkan tvOne, Selasa 11 Agustus 2009.

Istilah 'calon pengantin' juga terkait imbalan yang dipercaya oleh bomber. "Di surga mereka akan disediakan bidadari-bidadari," tambah Abu Wildan.

Reputasi Noordin sebagai perekrut bom bunuh diri, dibenarkan Wildan. Noordin, tambah dia, adalah sosok yang tutur katanya bagus dan pintar berkata-kata. Wildan mengatakan tak ada unsur penipuan yang dikatakan Noordin pada para calon bomber bunuh diri.

"Tidak akan ditipu, diyakinkan seyakin-yakinnya, diberi tausiah dengan yakin. Bismilahlah, dia berangkat," tambah Wildan.

Dalam pengeboman Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada Jumat 17 Juli 2009, jaringan Noordin berhasil merekrut dua 'calon pengantin' yakni Dani Dwi Permana (18), bomber Hotel JW Marriott dan Ikwan Maulana dari Pandeglang, bomber Hotel Ritz Carlton.

Kepala Kepolisian, Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengatakan sesuai dengan keterangan tersangka Amir Ibrahim, ada dua orang yang sudah dipersiapkan sebagai bomber, yakni Ibrahim, florist di Hotel Ritz Carlton dan Yayan alias Gepeng. Sasarannya, Istana Negara dan kediaman Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat.

Rencana ini digagalkan polisi dalam penggerebekan di Perumahan Puri Nusapala, Kelurahan Jati Luhur, Kecamatan Jati Asih, Bekasi, Sabtu 8 Agustus 2009 dini hari.

****

Bukan kali ini saja Noordin dan jaringannya merekrut para 'calon pengantin'. Berikut daftar para calon pengantin berdasarkan penelusuran VIVAnews:

Noordin dan jaringannya diyakini merekrut pelaku bom bunuh di Bali pada Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, Iqbal alias Arnasan alias Lacong

Setahun kemudian, Noordin kembali merekrut pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott pada tahun 2003, Asmar Latin Sani serta Heri Golun, pelaku peledakan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004.

Demikian pula dengan tiga pelaku bom bunuh diri dalam peristiwa Bom Bali II tahun 2005. Muhammad Salik Firdaus dari Cikijing, Majalengka, Jawa Barat - pelaku peledakan di Kafé Nyoman, Misno alias Wisnu (30), dari Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah - pelaku peledakan di Kafé Menega, dan Ayib Hidayat (25), dari Kampung Pamarikan, Ciamis, Jawa Barat.

Adapun mereka yang pernah mendapat gemblengan untuk aksi bunuh diri namun kemudian dibatalkan adalah Anif Solchanudin. Dia direkrut sebagai pelaku bom bunuh diri yang keempat untuk Bom Bali II. Dia ditangkap pada November 2005, dengan tuduhan menampung Noordin.

Kemudian Apuy — Syaiful Bahri– anggota Ring Banten dari Cigarung, Sukabumi, terlibat dalam bom Kedubes Australia 2004. Dia juga awalnya terpilih sebagai calon pelaku bom bunuh diri. Ditangkap November 2004 di Bogor, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, September 2005.

Nasib serupa juga dialami Chandra alias Farouk. Diduga awalnya dia direkrut untuk bunuh diri. Namun batal, dia hanya menampung Noordin dalam pelariannya.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda