Blogger Template by Blogcrowds

Hans Kung seorang teolog Katolik, dalam Theology for the Third Millennium, 230-237. Bdk. Hans Kung, "Towards an Ecumenical Theology of Religions: Some These for Clarifcation" dalam Conciliun 183 (1986), 119s dalam Dialog: Cara Baru Beragama, St, Sunardi, mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan melontarkan empat (4) kemungkinan kebenarannya. Kung menunjuk empat kemungkinan pendirian itu terhadap keanekaragaman agama-agama dunia.

Pertama, tak ada satu agama pun yang benar (atau Semua agama sama-sama tidak benar); kedua, hanya ada satu agama yang benar (atau Semua agama lainnya tidak benar); ketiga, hanya ada satu agama yang benar dalam arti semua agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu, dan keempat, setiap agama adalah benar (atau Semua agama "sama-sama" benar).

Pendirian pertama (Tak ada satu agama pun yang benar), yang bercorak ateistik (tidak percaya adanya Tuhan), tentu saja tidak pernah terjadi di antara orang-orang yang beragama. Pendirian ini dianut oleh mereka yang memandang agama sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Feuerbach menunjuk esensi agama terletak pada manusia; agama merupakan proyeksi manusia yang sama sekali bersifat jasmani (ateisme antropologis); Marx menyebutnya sebagai ideologi kaum borjuis (pengusaha), agama itu candu bagi masyarakat (ateisme sosio-politis); Freud menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak riil, fungsinya bertentangan dengan cara hidup yang wajar dan manusiawi. Kalau orang mau hidup secara benar-benar manusiawi, orang harus menyingkirkan agama dari setiap cara mereka berfikir, berperilaku dan bertindak. Posisi yang paling radikal diajukan oleh F. Nietzsche yang mengaku telah "membunuh Tuhan". Demikianlah dia menyatakan "Tuhan sudah mati" (nihilisme) dan mengusulkan kembali mengevaluasi seluruh nilai. Dalam teologinya, Kung selalu memperhitungkan posisi ini sebagai fungsi kritis yang tak bisa diabaikan begitu saja oleh agama. Gema kritik mereka akan selalu relevan sepanjang sejarah, walaupun perspektifnya berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jamannya.

Kedua adalah pendirian absolutis yang menyatakan bahwa hanya ada satu agama yang benar, sedangkan agama-agama lainnya tidak benar atau palsu. Ini berarti bahwa agama-agama lainnya tidak menjamin keselamatan para pemeluknya. Oleh karena itu, semua pemeluk agama lain harus "dibaiat atau ditobatkan" ke satu-satunya agama yang benar itu. Dalam sejarah Gereja pendirian semacam itu pernah dianut seperti tampak dalam ungkapan: Extra ecclessiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Berhadapan dengan Islam, misalnya, Gereja tidak mengakuinya sebagai agama. Muhammad Rasulullah tidak hanya tidak diakui sebagai utusan Allah, tetapi bahkan dicap sebagai utusan Setan. (Gullio Basetti-Sani, Koran in the Ligh of Chritianity, 1977, hal. 11) Sikap seperti ini telah memberikan corak suram dalam sejarah hubungan antar agama Kristen dan Islam yang pada dasarnya bersumber pada satu tradisi iman Ibrahim.

Pendapat ketiga yang berpendirian bahwa hanya ada satu agama yang benar dalam arti semua agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu sering disebut pendirian inklusifisme. Pendirian ini lebih toleran. Toleransi ini didukung oleh suatu pandangan teologis bahwa keselamatan tidak hanya menjadi monopoli satu agama, Islam misalnya, sebagai satu-satunya agama yang benar. Tetapi keselamatan juga dapat terjadi di dalam agama lain. Keselamatan tidak butuh pernyataan eksplisit ungkapan iman kepada agama tertentu. Namun, keselamatan dapat terjadi tanpa adanya hubungan yang eksplisit dan hubungan yang disadari dengan agama tertentu. Iman yang seperti ini sering disebut Iman Anonim. Jelasnya, orang yang beragama di luar Kristen berhak memperoleh keselamatan sejauh mereka berbuat baik dan hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan, sebab karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum mendapat kabar baik agama Kristen misalnya.

Hans Kung menganggap bahwa pendirian inklusif ini masih mengandung kesombongan yang tersembunyi atau sikap merasa diri super atas agama-agama lain. Kung menawarkan pendirian lain yang bisa menjadi dasar yang, di satu pihak, tidak meremehkan agama lain dan di lain pihak, tidak menghianati agamanya sendiri? Pendiriannya itu ia sebut kritis-ekumenis. Menurutnya kita harus memandang kedudukan agama-agama dari dua arah: dari dalam dan dari luar. Benarkah hanya ada satu agama yang benar dalam arti agama-agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu (inklusifisme)? Dari luar: Diakui adanya bermacam-macam agama yang benar. Inilah dimensi relative dari suatu agama. Agama-agama ini mempunyai satu tujuan, yaitu keselamatan (dengan konsep keselamatan yang berbeda-beda. Lewat perbedaannya ini, agama-agama bisa memperkaya satu sama lain. Dari dalam: Diakui adanya satu agama yang benar. Inilah dimensi mutlak dari suatu agama. Bagi Kung, seorang pemeluk agama Kristen, satu agama ini adalah Kristianisme. Kebenaran ini ada "sejauh Kristianisme mengakui akan satu Allah yang benar sebagaimana diwahyukanNya dalam diri Yesus Kristus". Pendirian ini tidak harus menolak kebenaran agama-agama lain, walaupun benar sampai tingkat tertentu. Sejauh tidak bertentangan dengan pesan agama Kristen, agama-agama lain dapat "melengkapi, mengoreksi dan memperdalam agama Kristen".

Apapun pandangan Hans Kung tersebut intinya dia masih bisa disebut mempunyai pendirian inklusifisme atau lebih tepatnya neoinklusifisme. Pandangan Kung ini sebenamya hendak menuju pendirian Pluralisme, namun masih ragu-ragu.

Pendirian Pluralisme adalah pendirian yang keempat, pendirian ini berpendapat dan percaya bahwa setiap agama atau semua agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri-sendiri. Dia menolak inklusifisme. Namun, bagi sebagian besar agama-agama berpendapat bahwa Pluralisme adalah tidak relevan dan Absurd (tidak mungkin). Paham Pluralisme ini percaya bahwa semua agama adalah sama, tetapi bukan seperti paham Deisme yang sudah tidak mementingkan lagi agama-agama formal walaupun la berpendirian bahwa agama-agama semuanya sama. Pluralisme menganggap semua agama adalah penting dan sah.

Orang-orang (sering disebut aliran Deisme) melihat agama sebagai sesuatu yang kurang penting karena mereka beranggapan bahwa agama-agama formal (organized religions) semisal Yahudi, Nasrani dan Islam sebagai tidak memiliki masa depan. Yang bertahan bagi mereka adalah pesan-pesannya yang universal semisal kemaha-Esa-an Tuhan (Unitarianisme) dan kebenaran Universal (Universalisme), namun ritus-ritus formal dan label yang membungkusnya dircmehkan dan ditinggalkan, sehingga mereka tidak merasa perlu mengikatkan diri kepada salah satu agama dan mempermasalahkan kesalahan dan kebenarannya masing-masing.





Korban diiming-imingi dibelikan telepon selular dan motor.
Oknum anggota Polisi Resor Bengkalis, Riau, dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polisi Daerah Riau. Dia diduga telah menyodomi siswa kelas VIII Sekolah Menengah Pertama dengan iming-iming akan dibelikan telepon selular dan motor.

Laporan itu disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Bengkalis ke Divisi Propam. Menurut Ketua Pokja Pemantauan Evaluasi dan Pengkajian, Beni Saputra, saat dihubungi VIVAnews, Sabtu 21 Februari 2009.

"Korban masih duduk di bangku SMP dan pelaku dari bintara yang masih lajang," kata Beni.

Menurut Beni, korban dan pelaku selama ini menjalin hubungan keluarga dengan baik. Malah orang tua korban yang berprofesi sebagai tukang ojek menganggap oknum polisi itu sebagai anak sendiri. Orang tua korban bahkan sudah berulang kali mengizinkan anaknya menginap di asrama polisi.

"Korban dalam melayani nafsu bejat polisi itu dijanjikan dibelikan telepon selular dan sepeda motor baru, korban juga disuruh menjual kepingan cakram porno kepada teman-temannya di sekolah," jelasnya.

Tak tahan atas perlakuan oknum polisi itu, akhirnya bocah itu menceritakan ke salah satu gurunya. Pihak sekolah pun kemudian melaporkan kasus ini ke Komisi Perlindungan Anak dan memberitahukan ke orang tua korban.

Menurut Beni, setelah orang tua korban tahu, oknum polisi itu kemudian mengakui perbuatannya dan meminta upaya damai secara kekeluargaan. Kendati telah ada upaya perdamaian, namun komisi perlindungan anak tetap meminta polisi membawa kasus ini ke jalur hukum.

"Kita tetap akan mendampingi korban sampai jalur hukum sekalipun orang tua korban sudah melakukan upaya perdamaian, kami juga ingin memberikan terapi kepada korban agar dia kembali normal," ujarnya.

Selain itu, Komisi Perlindungan Anak juga meminta kepada pihak sekolah untuk memberikan pengertian kepada siswa lainnya agar tidak mengucilkan korban. Menurut Beni, jika korban dikucilkan, maka dampaknya dia tidak akan mau sekolah lagi. "Teman-teman dan pihak sekolah diharapkan dapat mengerti dengan kondisi korban," jelasnya.

Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM Romli Atmasasmita menolak dakwaan terkait kasus dugaan korupsi Sisminbakum. Romli mengaku dirinya hanya menjalankan perintah dari atasannya.

"Saya diperlakukan tidak adil karena selaku Dirjen AHU ditetapkan sebagai terdakwa sedangkan saya bukan pengambil kebijakan yang menetapkan berlakunya Sisminbakum," ujar Romli saat membacakan nota keberatannya (eksepsi) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (18/5).

Dalam perkara Sisminbakum, Romli menyatakan dirinya hanya semata-mata pelaksana kebijakan Menteri Kehakiman dan HAM RI. "Saat itu yang menjabat Yusril Ihza Mahendra," ujar Romli dengan tegas.

Sedangkan peran dirinya tidak jelas diuraikan dalam dakwaan. Hal ini terbukti dalam dakwaan karena dirinya selaku terdakwa tidak dikatakan secara jelas melakukan tindakan secara bersama atau perorangan.

"Padahal penuntut umum menyebut sejumlah nama seperti Yohanes Waworuntu, Ali Amran Djanah, Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoesoedibjo," jelas Romli di hadapan Ketua Majelis Hakim Syahrial Sidik.

Terlebih hingga saat ini, Kejagung juga tidak pernah mengeluarkan surat penyidikan atas Yusril dan Hartono bahkan keduanya tidak ditetapkan sebagai tersangka, ungkap Romli dengan nada penuh emosi.

"Oleh karena dakwaan penunut umum tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap sehingga harus dinyatakan batal demi hukum," kata Guru Besar Universitas Padjadjaran, Bandung itu.




Kerajaan Pertama di Gunung Merapi

1. Maharaja yang Bermahkota

Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut. Ceti Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa. Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan “camin taruih” untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi. Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.

2. Galundi Nan Baselo

Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat. Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai. Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali. Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”. Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan “Si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh. Keturunan “Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.

3. Kedatangan Sang Sapurba

Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “Datanglah ruso dari Lauik”. Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam. Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun. Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi. Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.

4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang

Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang” tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb. Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih bernama Padang Panjang. Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat “penghulu” dan bergelar “Datuk”. · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan.

5. Sikati Muno

Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung Merapi. Rakyat sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”, keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga. Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)

kayanya bersambung deh...................






Siklus reproduksi di masyarakat Minang membawa dampak bagi tatanan ruang dalam rumah adatnya.

Ada empat aspek penting di kehidupan sosial Minangkabau yang sudah dikenal oleh banyak orang. Inilah yang tergambar dalam penelitian Cecilia Ng, lulusan Australian National University yang mengkhususkan diri pada prinsip-prinsip dasar organisasi ruang domestik pada orang Minangkabau di Sumatra Utara.

Yang pertama, penduduk Minangkabau sendiri terdiri dari beberapa suku, yang kemudian lebih difokuskan pada garis silsilah (sa-payuang). Satu kelompok silsilah ini kemudian dipimpin oleh seseorang yang disebut panghulu.

Yang kedua adalah Minangkabau menganut sistem matrifocal (mengikuti garis keturunan ibu), jadi peran wanita di sini lebih besar dari peran laki-laki.

Ketiga, hubungan yang terjadi karena pernikahan, merupakan cara yang paling signifikan untuk membedakan kelompok-kelompok masyarakatnya. Pengelompokan akan terlihat jelas saat ditelusuri silsilah keluarganya.

Yang terakhir adalah pola gerak anak laki-laki. Anak laki-laki akan terus berpindah tempat sampai dia dewasa. Anak laki-laki yang belum disunat, tidur di dalam rumah ibunya, sedangkan yag telah disunat akan tidur di mushola sampai menikah. Sebelum menikah mereka akan menerima pelajaran tentang Islam dari para tetua. Laki-laki remaja yang tidur di dalam rumah yang sudah ada pasangan suami-istrinya (kakak perempuannya sudah menikah), akan membuat pasangan yang sudah menikah itu malu. Biasanya pihak yang dilamar adalah pihak laki-laki. Karena itu setelah menikah, laki-laki akan pindah ke rumah istrinya.

Organisasi Ruang
Rumah gadang selalu berbentuk persegi panjang. Ada tiga macam ukuran, yaitu yang paling besar adalah rumah dengan 30 kolom, 20 kolom, dan yang paling kecil 12 kolom. Namun ketiga ukuran rumah itu mempunyai organisasi ruang yang sama persis.

Ruang paling pojok kiri adalah anjuang. Ruang ini biasanya sedikit naik dari lantai dasarnya, oleh karena itu sering disebut dengan anjuang nan tinggi. Ruang tidur atau biliak, hanya terdapat pada rumah dengan 30 kolom dan 20 kolom, adalah ruang yang berderet di bagian belakang. Pintu ruang tidur ini terbuat dari tirai dan menghadap ke ruang tengah. Ruang tengah pada rumah 30 kolom terbagi menjadi 3 bagian, yaitu ruang ateh yang tepat berada di depan biliak, ruang tongah, dan ruang topi.

Pada rumah 20 kolom, ruang tengah hanya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu ruang tongah dan ruang topi. Kemudian pada bagian kanan belakang rumah adalah dapur, yang biasanya lebih rendah dibandingkan ruang lainnya. Tepat di depan dapur adalah pangkalan, yang merupakan lantai dasar dari seluruh rumah. Masih ada satu ruangan lagi, yaitu ruang dalam, yang terletak di bawah rumah dan digunakan oleh para wanita untuk kegiatan rumah tangga.

Ruang Privat dan Semi Privat
Ruang tengah adalah ruang semi privat. Tamu yang datang ke rumah, duduk di ruang topi dan pemilik rumah duduk di ruang tongah. Ruang tongah ini juga digunakan untuk makan bersama keluarga. Saat ini ruang tongah menjadi ruang yang bersifat pribadi. Bila ada tamu yang datang saat mereka sedang makan, maka makanan akan segera dibereskan.

Ruang tidur bagi para penghuni harus mengikuti aturan yang ada. Pasangan pengantin baru akan tidur di anjuang. Bila ada pasangan pengantin baru lagi, maka pasangan pengantin sebelumnya akan pindah ke biliak yang paling dekat dengan anjuang. Maka anjuang bisa dikatakan adalah ruang untuk awal reproduksi. Penghuni biliak sebelumnya akan pindah ke biliak sebelahnya, begitu seterusnya. Karena urutan pernikahan ditentukan oleh umur, maka biliak yang paling ujung (dekat dengan dapur) ditempati oleh penghuni tertua. Bila sudah tidak ada lagi biliak, maka penghuni tertua tersebut akan pindah ke pangkalan. Sedangkan anak gadis yang belum menikah akan tidur di ruang ateh dan ruang tongah, dekat dengan kolom utama (tonggak tuo).

Ruang publik yang ada dalam rumah ini adalah pangkalan. Para wanita yang sudah tidak bereproduksi lagi akan tidur di pangkalan ini. Di ruangan ini juga merupakan tempat jenasah dimandikan sebelum disemayamkan di ruang tongah.

Pola Ruang Berdasarkan Proses Reproduksi
Dilihat dari penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya denah rumah Minang memang sangat didasarkan pada pola pergerakan penghuni, terutama oleh proses reproduksinya. Ini sangat terlihat pada ruang tidurnya. Perputaran proses reproduksi tersebut membuat ruang-ruang diletakkan berjajar sesuai dengan urutan proses reproduksi.

Wanita yang memang merupakan pusat dari semua proses yang ada di dalam suatu keluarga, ruang tidurnya sangat diperhatikan di dalam rumah Minang ini. Anak perempuan, misalnya, ditempatkan pada ruang tongah dekat dengan kolom utama yang merupakan tempat menyemayamkan jenasah. Penempatan ini menggambarkan bahwa kehidupan dalam keluarga berawal dan berakhir di situ. Kemudian wanita bila sudah menikah akan diberi kamar pribadi (anjuang), yang terletak di ujung rumah, untuk memulai proses reproduksinya, lalu terus bergeser hingga kembali ke tengah lagi.

Jika wanita merupakan pusat kegiatan keluarga, tidak begitu dengan para lelakinya. Lelaki mempunyai orientasi hidup keluar. Karena itu tidak dirancang ruangan khusus untuk para lelaki. Mereka dipindahkan ke mushola mulai dari mereka disunat, karena dianggap tidak akan tinggal di rumah-melainkan akan merantau keluar dan kemudian kembali lagi saat menikah.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda