Blogger Template by Blogcrowds


Nasional

Irfan Maulana (Joki 3 in 1) Cermin Kasus Kekerasan Negara

KabarIndonesia
- Hari ini, 372 hari lalu, tepatnya tanggal 8 Januari 2007, seorang anak tewas. Irfan Maulana 14 tahun, bocah yang masih duduk di sekolah dasar kelas lima Kota Bambu, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tidak ada yang istimewa dari Irfan, kecuali hobinya sebagaimana anak-anak seusianya, Ia sangat fanatik dan mendukung penuh tim kesebelasan Persija-Jakarta. Hal itu juga seringkali membuatnya putar otak untuk mencari uang tambahan, untuk membeli tiket pertandingan langsung Liga Indonesia, maklum Irfan adalah penyokong baris terdepan kesebelasan orange, the Jak-Mania.

Irfan Maulana adalah anak dari keluarga yang sederhana, boleh dibilang tidak berkecukupan sebagaimana umumnya warga-warga yang menghuni perkampungan padat-sesak-berjejalan, berhimpitan dengan dinding-dinding gedung pencakar langit. Sejak kenaikan BBM, keluarga Irfan termasuk salah satu keluarga yang mengalami dampak kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Keluarga kerap kali memprioritaskan kebutuhan pangan daripada memenuhi kebutuhan Irfan, untuk itulah sebab membuatnya penuh tekad turun ke jalan, Irfan kerap menjadi Joki 3 in 1, hasilnya untuk jajan dan tentu saja membeli tiket pertandingan sepak bola Liga Indonesia yang dicintainya.

Namun naas, 8 Januari 2007, Irfan Maulana bersama empat anak seusianya pada waktu itu terjaring operasi penertiban Joki 3 in 1. Di Jalan Pakubuwono, Kebayoran Baru, mereka tertangkap oleh aparat dinas tramtib-satpol.pp Jakarta Selatan.

Menurut keterangan para saksi-saksi, Irfan sempat mempertahankan diri, Ia menggigit lengan salah satu petugas tramtib tersebut. Tentu saja tindakan Irfan tersebut membuat berang, bahkan menurut saksi lagi pada waktu itu, anggota pol.pp tersebut meminta sebagaian uang hasil Joki dari Irfan sebagai bentuk ganti rugi karena luka yang dideritanya akibat gigitan.

Seketika itu pula, perselisihan terjadi, Irfan mempertahankan haknya, sementara aparat Pol.PP yang terkenal dengan "kegalakan" dan "arogansi" yang melebihi aparat TNI, tega, menghabisi nyawa Irfan. Sembilan orang aparat Pol.PP mengkroyok dan menganiaya Irfan hingga tewas seketika.

Berita seputar kematian Irfan Maulana sempat diliput oleh media-media. Beberapa versi pun beredar, dari mulai foto yang berbeda, penyebab kematian Irfan akibat sakit ayan dari pihak Pol.PP, hingga laporan keluarga Irfan kepada pihak Polda Metro Jaya perihal perkara Irfan yang tewas dianiaya.


Sangat disayangkan sampai hari ini proses hukum tersebut tak kunjung memberikan kejelasan dan rasa keadilan bagi keluarga korban, meskipun upaya litigasi dan bentuk solidaritas sudah diupayakan oleh gerakan masyarakat sipil, organisasi pendamping anak jalanan, dan anggota masyarakat lainnnya kepada pihak Mabes Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan lembaga Negara Komisi Perlindungan Anak (KPAI).

Kini kasus Irfan Maulana (Joki 3 in 1) bisa diasumsikan menghilang. Kejahatan yang kerap melibatkan aparat pemerintah dan kekuasaan, cenderung berakhir buntu. Bahkan boleh dianggap mimpi di siang bolong saja jika keadilan dan upaya penegakkan hukum benar-benar "berjalan".

Irfan Maulana adalah kesekian kasus, korban dari bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Jika kita mau sadar dan melihat kembali "sejarah" sejak tahun 1965, kasus-kasus kekerasan oleh Negara tak pernah bisa diungkap.

Semestinya kita sebagai warga Negara mulai mempertanyakan bahkan berani menggugat, segala bentuk kejahatan, dan kekerasan tersebut. Sebab kebenaran, keadilan akan menumbuhkan pondasi Demokrasi yang sedang kita harapkan bersama kini.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda