Tubuh Nur ringkih tak berdaya, dia hanya bisa mengangguk dan menggelengkan kepalanya
VIVAnews - Sudah hampir dua pekan Nurrahmawati, 11 tahun, warga Jalan Baru Nomor 9 Otak Desa Ampenan terbaring lemah di Bangsal Dahlia Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tubuh gadis kecil ini sangat kurus, tulang-tulangnya tampak menyembul keluar, seolah tanpa daging.
"Minum, Ma, aku haus sekali," rintih Nurrahmati, sambil memandang ibunya, Rauhun, yang setia menunggu di dekatnya.
Jika merasa lelah berbaring, Nur memaksa tubuhnya yang tak berdaya duduk bersandar di sisi pembaringan. Matanya nanar menatap sekeliling, sementara tangannya selalu memegang perut, menahan sakit.
Nurr, nama panggilan Nurrahmati, tak banyak bicara ketika VIVAnews datang menyambanginya pada Minggu 7 Juni 2009. Dia hanya mampu menganggukkan kepala untuk menyatakan setuju dan menggeleng untuk menyatakan penolakan.
Rasa sedih dan prihatin membayangi wajah sang ibu, Rauhun. Tangannya tidak henti-henti membelai tubuh ringkih putrinya. "Saya tidak sanggup lagi melihat kondisi Nurr seperti ini. Saya ingin merawatnya di rumah saja sebab saya nggak punya uang," kata dia, menahan tangis.
Rauhun lalu menceritakan riwayat kondisi Nurr, anak ketiganya. Gadis yang beranjak remaja ini duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Saat berusia 3 tahun Nurr ditinggal ayahnya, kedua orang tuanya bercerai sehingga Nur ikut ibunya.
Kehidupan ekonomi keluarganya kian terpuruk sepeninggal ayahnya. Kakak tertua Nurr yang jadi tumpuan harapan, pergi ke negeri jiran dan tidak pernah pulang.
Untuk bertahan hidup, Rauhun terpaksa mengontrak rumah seharga Rp 100 ribu perbulan. Penghasilannya sebagai tukang cuci keliling dirasa masih cukup untuk menghidupi anak-anaknya.
Namun, ketika Nurr jatuh sakit, pekerjaan sebagai buruh cuci praktis terhenti untuk mengurus sang buah hati. Akibatnya, penghasilan pun melayang. Bahkan, untuk biaya sehari-hari di rumah sakit dia mengandalkan belas kasih tetangganya.
"Memang sih untuk pengobatan Nurr menggunakan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Tapi untuk membeli kebutuhan sehari-hari di sini saya sudah nggak punya uang," kata dia.
Rauhun berencana merawat anaknya dirumah jika dalam sepekan kedepan kesehatan anaknya tidak membaik. Meski dibantu Jamkesmas, baginya biaya yang dikeluarkan di rumah sakit sangat besar, termasuk membeli jarum suntik atau obat injeksi lainnya.
Meski prihatin, tak ada kata menyerah bagi Rauhun dan Nurr, mereka tetap bersemangat untuk hidup. Tak lupa, Rauhun menyampaikan terimakasih atas bantuan rumah sakit. Dia berharap pemerintah dan para calon legislatif terpilih yang sebelumnya berkampanye dengan sejuta janji, peduli pada rakyat.
"Saya cuma berharap anak saya cepat sembuh dan semoga ada orang yang membantu saya," kata dia.
Menurut dokter Sangawati, spesialis anak yang merawatnya, Nurr menderita penyakit komplikasi. Selain mengalami kekurangan protein, Nurr juga mengidap penyakit TBC yang menggerogoti tubuhnya. Pihak Rumah Sakit memberi asupan gizi dan protein untuk menjaga sistem kekebalan tubuh Nurr.
Tak hanya Nurr yang menderita. Hingga Mei 2009 ini jumlah penderita Gizi Buruk di NTB mencapai 171 orang dengan tingkat kematian 15 orang.Sedangkan pada akhir 2008 lalu penderita Gizi Buruk di NTB sebanyak 1207 orang dengan tingkat kematian 45 orang.
Laporan: Edy Gustan| NTB
3 Comments:
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
hehehehehe
janji pa ....realita