Masyarakat suku Asmat sebagai salah satu elemen bangsa menanggapi beragam persoalan bangsa Indonesia, termasuk ancaman disintegrasi, dengan mendorong terciptanya persahabatan melalui keragaman seni budaya yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk memberi tempat bagi pengembangan budaya yang akan memperkuat jadi diri Indonesia meskipun berada dalam keragaman.
Yuvensius A Biakai, Bupati Asmat, yang hadir di Jakarta bersama 150 warga Asmat, Kamis (9/8), mengatakan, kehadiran warga Asmat untuk tampil dalam Asmat Beorpits Festival di Ancol, 12-19 Agustus, sebagai perlambang unsur Bhinneka Tunggal Ika.
“Kami juga bagian dari negara ini. Kami ingin berbagi daya nalar seni yang tinggi yang dimiliki warga Asmat. Saya ingatkan kepada warga Asmat bahwa kami datang bukan untuk cari duit atau baju. Kami datang dari pedalaman untuk mencari teman. Dengan begini, Asmat akan bisa mendunia,” kata Biakai.
Armandus Anakat, Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Asmat, mengatakan, suku Asmat juga ingin menunjukkan bahwa untuk mendamaikan bangsa ini bukan hanya perlu politik, tetapi juga seni dan budaya. Suku Asmat hendak mengedepankan persaudaraan dengan memberikan rasa aman. “Yang bergaul dengan suku Asmat harus merasa aman dan damai,” kata Anakat.
Rektor Institut Kesenian Jakarta Sardono W Kusumo mengatakan, suku Asmat memiliki spontanitas dan kebebasan dalam menunjukkan budaya mereka. Apa adanya dari kehidupan suku Asmat inilah yang secara bebas diekspresikan sehingga terjadi interaksi yang wajar.
“Dari suku Asmat kita bisa belajar bahasa tubuh yang murni dan spontan, yang terlihat dari tari-tarian ataupun saat mengukir. Ini bisa memberikan penyegaran dalam kehidupan. Dari bahasa tubuh itu akan muncul egalitarianisme dan spontanitas untuk keluar dari pengotak-ngotakan manusia,” kata Sardono.
Kehidupan suku Asmat ini bisa secara dekat dilihat dan dipelajari masyarakat sebagai bagian dari acara “Warna-warni 62 Tahun Kemerdekaan RI” yang digelar di Pantai Carnaval Ancol.(ELN)
Sumber:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/10/utama/3753453.htm