Blogger Template by Blogcrowds

Setelah melalui proses berliku selama 4 tahun, akhirnya DPR mengesahkan RUU Pelayanan Publik menjadi undang-undang. Pelayanan publik pun diharapkan akan membaik.

Seluruh fraksi DPR menyetujui pengesahan RUU itu untuk meningkatkan pelayanan publik secara menyeluruh. Dengan demikian pelanggaran terhadap hak-hak pelayanan publik akan menuai hukuman.

Sepuluh juru bicara fraksi DPR yang menyatakan persetujuan terhadap pengesahan RUU Pelayanan Publik menjadi UU adalah Barnstein Tundan (FPD), Hadimulyo (FPPP), Hermanzah Nazirun (FPAN), Syaifullah Ma'shum (FKB), Untung Wahono (FPKS), Eddy Wahyudin (FBPD). Zulhenry Chaniago (FBR), Saut Hasibuan (FPDS), Rustam Tamburaka (FPG), dan Fachruddin (FPDIP).

UU Pelayanan Publik antara lain mengatur sanksi bagi pelaksana layanan publik yang merugikan publik seperti ganti rugi, sanksi perdata, pidana dan sanksi administratif.

Robert Endi Jaweng, Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dalam sebuah opininya mengatakan, lahirnya UU Pelayanan Publik ini merupakan kerangka kebijakan yang secara khusus mengatur salah satu segi penting dalam kehidupan sektor publik kita.

Robert mencatat beberapa terobosan terkait dengan UU Pelayanan Publik ini. Pertama, perspektif dasar yang dipakai, bertolak dari sisi publik sebagai: hak warga dan jaminan bagi akses keadilan ke aneka sumberdaya sosial-ekonomi. Pada tarikan nafas yang sama, paradigma ini berkosekuensi pada kewajiban negara untuk memenuhinya, baik yang diselenggarakan pemerintah sendiri ataupun swasta.

Kedua, UU ini menegaskan sikap keberpihakan bagi kelompok rentan dan miskin seperti penyandang cacat, dan korban bencana. Kepada mereka diberikan pelayanan khusus tanpa tambahan biaya. Adanya affirmation policy ini, meski terbatas dan belum menjangkau kelompok marginal lain----seperti suku terasing----namun sudah mencerminkan substansi keadilan sebagai nilai keutamaan dalam politik pelayanan publik.

Ketiga, pengaturan tentang tanggungjawab layanan, sanksi administrasi, perdata dan pidana, mekanisme pengaduan dan peran ombudsmnan, gugatan warga ke pengadilan, penilaian kinerja dan lain-lain merupakan sederet klausul inti yang menegaskan sifat imperatif pelayanan publik, sekaligus kejelasan tanggung jawab atas pengabaiannya.

Dari sini diharapkan, mutu kinerja birokrasi dan swasta penyelenggara layanan bisa berjalan profesional, transparan dan akuntabel.

Keempat, ditetapkannya standar pelayanan yang ditunagkan dalam maklumat pelayanan. Dengan proses pelibatan warga, penyelenggara layanan wajib membuat pernyataan kesanggupan memenuhi standar kinerja tertentu. Misalnya hal ihwal biaya, waktu, dan produk layanan yang dijalankan.

Robert juga mencatat satu problem besar yang luput dari pengaturan, namun paling dibutuhkan pemda dalam reformasi birokrasi dan inovasi pelayanan publik, yakni jaminan hukum atas diskresi kebijakan mereka.

Menurutnya, sepanjang berlakunya desentralisasi, cukup banyak pejabat pemda yang mesti berurusan dengan aparat hukum karena praktik inovasi kebijakan yang belum ada dasar hukumnya di level nasional.

Dalam situasi itu, mereka kemudian sangat berhati-hati dan terkesan mencari aman saja dalam mengeluarkan kebijakan, seperti alokasi anggaran. Dalam situasi seperti ini kita tentu lalu sulit mendapatkan berbagai terobosan profresif dalam isi regulasi dan praktik layanannya kalau birokrasinya hanya menjalani pekerjaan rutin dan bergerak linear.

Problem krusial lain yakni inkonsistensi pengaturan sistem pelayanan terpadu. Dalam pasal 9 dikatakan, bahwa penerapan sistem ini berlaku opsional, sementara dalam pasal 60 justru bersifat imperatif dalam batasan waktu enam bulan ke depan.

Selain itu, UU ini mengamanatkan PP khusus bagi penjabaran sistem tersebut, sementara saat ini sudah berlaku sejumlah kepres dan permendagri yang mengatur materi terkait. Belum lagi di level lokal, sejumlah pemda juga sudah menerbitkan perda yang berisi materi sejenis.

Dari data yang dihimpun pada 2007 tercatat ada 293 kabupaten/kota di Indonesia berhasil memperbaiki pelayanan publiknya menjadi lebih baik bahkan best practice. Contoh Kabupaten Jembrana (Bali), kota Yogyakarta (DIY), dan Tarakan (Kaltim). Kabupaten/kota tersebut bukan saja berhasil membuat one stop service, tapi beberapa di antaranya sudah best practice.

Best practice dibuktikan dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), peningkatan fiskal, dan kemudian diiringin penurunan angka pengangguran dan kemiskinan.*

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda