Blogger Template by Blogcrowds

Menanam Pengkhianat

Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Ansyaad Mbai mengatakan, meski modus yang digunakan masih konvensional, yakni bom bunuh diri, aksi ini dilakukan dengan cara yang lebih canggih, yakni langsung menyusup ke dalam sasaran.

Bagi para para pemerhati “Konsep Jaringan”, pernyataan Ansyaad Mbai langsung menggiring pemikiran pada logika paling sederhana, kasus pengeboman JW Marriot dan Ritz Carlton merupakan puncak dari sebuah rencana yang matang.

Terlepas dari tujuan politik yang ingin dicapai kelompok teroris ini, dari logika sederhana tadi, bisa dikatakan bahwa bom sekelas bom Bali yang diledakkan itu, proses persiapannya benar-benar matang dan sejak jauh hari. Tidak tiba-tiba.

Logika pertama, kelompok teroris ini jelas sangat mengetahui situasi dan kondisi manajemen yang berlaku di kedua lokasi target. Logika kedua, kelompok teroris ini sudah sangat memahami situasi dan kondisi keamanan di kedua target. Logika ketiga, kelompok teroris ini sangat kaya dana. Logika keempat, jaringan teroris di JW Marriot-Ritz Calrton orang-orang yang terlatih, khususnya dalam soal membuat dan mempergunakan alat peledak

Empat logika dasar tadi diperkuat oleh tersebarnya informasi, bahwa sistem kepegawaian di kedua target tersebut, lebih banyak menggunakan tenaga kontrak. Bukan karyawan tetap.

Itulah kemudian, langkah untuk mengusung bom-bom itu secara utuh dari luar, langsung dinisbikan. Jadi, pelaku bom bunuh diri tadi, besar sekali kemungkinannya sudah “ditanam” oleh aktor intelektualnya di JW Marriot dan Ritz Carlton sejak jauh hari.

Artinya apa? Yang bisa melakukan perencanaan sematang ini, tentu orang-orang yang sangat memahami manajemen perang dan sabotase. Dan langkah yang diambil sangat organik --- membina, menanam, mengeksekusi. Lantas, ketika selesai eksekusi, sel-sel kelompok teroris ini melontarkan berbagai teori-teori dan pendapat yang menyesatkan.

Mengapa dipraktikkan sebagai bom bunuh diri? Tentu agar aparat keamanan menjadi sulit menditeksi kelompok pelaku dan memperkecil tertinggalnya bukti-bukti yang akan membawa alur penyidikan bermuara pada aktor intelektualnya.

Simaknya saja keterangan yang menyatakan bahwa pelaku peledakan bom di Hotel JW Marriot yang menginap di kamar 1808 menggunakan identitas palsu. Alamat yang tertera di KTP tersebut setelah di cek ternyata tidak dapat ditemukan. KTP tersebut tertera atas nama Nurhasbi alias Nuri Hasdi alias Nur Sahid.

“Mereka tidak sendiri. Ada jaringan yang memback up dari tingkat lokal dan dari tingkat internasional,” jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Chrysnanda, Minggu (19/7).

Sementara Kadiv Humas Markas Besar Irjen Pol Nanan Sukarna mengatakan, Markas Besar Polri memastikan, pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton, bukan berjenis kelamin perempuan.

Serangkaian tanda tanya masih terbenam dibenak kita. Apakah hanya sebatas menemukan identitas penghuni kamar 1808 saja? Apakah benar bahwa penghuni kamar 1808 sebagai pelaku bom bunuh diri? Sudah berapa lama kamar 1808 dihuni oleh pengebom bunuh diri?

Bila mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, maka untuk mencari rangkaian kelompok teroris dan dalangnya, tetap saja akan menemui kesulitan, seperti yang memang direncanakan oleh aktor intelektualnya.

Apakah hanya cukup dengan mengatakan pelaku tindak kekerasaan ini jaringan Noordin M Top? Apakah hanya cukup mengatakan ini terkait dengan Jemaah Islamiyah? Apakah hanya cukup mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri, identitasnya sudah diketahui?

Tentu tidak. Sebab, pelaku bom bunuh diri, “tertanam” di JW Marriot dan Ritz Carlton bukan sehari atau dua hari dan tentu tidak sendiri. Proses “penanaman”nya, diduga sejak jauh hari. Bisa jadi, pelakunya sudah menjadi karyawan disana, bukan hanya sebatas menjadi penghuni kamar 1808 saja.

Apalagi, setiap kamar hotel yang dihuni tamu (lebih dari satu hari), dipastikan petugas pembersih hotel akan menyatroni kamar tersebut. Seperti biasanya petugas pembersih kamar, dia akan mengepel, mengganti handuk, sprei kasur, bantal, guling dan membersihkan kamar mandi. Apakah petugas pembersih tidak melihat hal-hal yang “diluar kebiasaan” tamu pada umumnya?

Entahlah. Yang jelas, saya jadi teringat sebuah kalimat perenungan yang pernah disampaikan kepada saya : Belanda tidak akan bisa menangkap Pangeran Diponegoro, kalau tidak dibantu oleh pengkhianat bangsa. Itulah kenapa Pasal Pengkhianat tidak ada dalam KUHP yang ditinggalkan Belanda.

Yusuf Yazid

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda